Dua
orang lelaki keluar dari lobi the balmoral hotel. Sama-sama masih
muda. Yang satu berwajah Asia Tenggara memakai jas cokelat muda dan
dasi, sehingga tampak rapi dan serasi. Yang satu berwajah turki
memakai jas sweeter biru muda dan celana jeans yang membuatnya tampak
santai namun cerah. Sebuah SUV BMW putih datang dan berhenti tak jauh
dari mereka berdua. Keduanya tertawa. Berjabat tangan, saling
merangkul lalu berpisah. Lelaki yang memakai jas itu masuk ke dalam
mobil dan melambaikan tangan pada temannya yang tak lama kemudian
kembali masuk ke dalam hotel.
“La
haula wa la quwwata illa billah,...la haula wa la quwwata illa
billah..” Lelaki itu bergumam mengulang-ulang zikirnya. Mobil itu
memasuki Prince St. dan bergerak ke barat. Setelah melewati Prince
Mall Shopping Centre belok kiri memasuki Waverley Bridge yang
melintasi stasiun kerreta Waverley. Mobil itu terus meluncur
menyusuri Cockburn St., melintasi the royal Mile, lalu menyusuri A7
menuju selatan.
“Cepat
sedikit, Paman, jangan sampai saya terlambat” kata lelaki itu pelan
dalam bahasa Turki.
“Baik,
Hocam,” jawab sang sopir.
“La
haula wa la quwwata illa billah … la haula wa la quwwata illa
billah...”
Mobil
itu melaju lebih cepat melewati Nicolson square garden di sebelah
kanan dan terus melaju ke selatan. Beberapa juruss kemudian belok
kanan memasuki W.Nicolson St. dan terus melalju hingga memasuki
kawasan kampus utama The University of Edinburgh yang berada di
George Square yang legendaris. Di dekat gedung klasik nomorn 19,
mobil itu berhenti. Lelaki iyu turun sambil menjinjing tasnya. Ia
melihat jam tangannya. Jalannya cepat dan tangkas, tidak aeperti
rata-rata orang Asia Tenggara. Beberapa orang yang berpapasan
menyapanya dengan ramah penuh hormat.
Lelaki
itu kembali melihat jam tangannya. Dua belas dua puluh.
“Alhamdulillah
tidak terlambat,” gumamnya dalam hati.
“La
haula wa la quwwata illa billah...la haula wa la quwwata illa
billah..”
Ia
mempercepat langkahnya menuju ruang diskusi mahasiswa pasca sarjana.
Ia membuka ruang itu. Lima belas orang yang telah duduk rapi seketika
memperhatikan dirinya dengan saksama dan menyapa semua yang ada di
ruangan itu dengan ramah lalu duduk di kursi yang biasa didiuduki
Professor Charlotte Brewster.
“Kalian
mungkin terkejut yang duduk di kursi ini saat ini adalah saya, dan
bukan Professor Charlotte. Dan kalian mungkin bertanya-tanya siapa
saya ini? Tadi pagi Professor Charlotte menelepon saya, ia harus ke
rumah sakit. Beliau harus cuci darah. Dan tidak boleh terlambat.
Sudah lima belas tahun beliau harus cuci darah. Kita doakan beliau
tetap sehat, berumur panjang dan bisa memberikan sumbangan ilmunya
yang sangat diperlukan dunia.