-->
Nafilata Primadia

[Cerbung] Ayat-ayat Cinta 2 (bagian 8)

Ponsel Fahri berdenyit. Ia lihat di laya, SMS dari Paman Hulusi.
"Saya duah di parkiran Buccleuch."
"Paman merapat ke sini, tempat tadi turun. Bawa kemari koper kosong dibagasi mobil, bantu saya bawa buku-buku."
"Baik."

Fahri mengambil data di komputernya dalam sebuah flashdisk, lalu menutup komputernya. Ia rapikan buku-buku di atas meja itu. Ia melihat rok bukunya, beberap buku ia ambil. Gerimis di luar semakin kencang.

Pintu diketuk. Fahri membuka. Paham Hulusi berjalan memasuki ruangan menyerey koper berukuran sedang dengan kaki sedikit pincang. Tanpa diminta, Paman Hulusi membuka koper. Fahri memasukkan beberapa buku, beberapa berkas, juga buku dan jurnal yang baru saja ia terima ke dalam koper.

"Paman ada wudhu?"
Paman hulusi mengangguk.
"Sudah waktunya masuk waktu Ashar. Sebelum pulang, kita shalat berjamaah dulu di sini."

Fahri mengambli dua sajadah yang ia letakkan ddalam laci paling bawah meja kerjanya. Mereka berdua lalu tenggelam dalam kekhusyukan muanjat kepada Allah saat hujan mengguyur Edinburgh, dan lonceng dari St.Giles Cathedral berdentang-detang.
 ---
"Kita lewat ke utara saja Paman. Lewat North Bridge lalu belok kanan ke timur lewat A1 saja."
"Baik, Hoca."

Lelaki setangah baya itu memanggil Fahri dengan kata-kata hoca. Sebuah panggilan yang digunakan orang Turki untuk guru dan ulama yang dimuliakan.

Fahri mengiringi laju mobil dengan dzikir.

"La haula wa la quwwata illa billah.... La haula wa la quwwata illa billah.... La haula wa la quwwata illa billah...."

Paman Hulusi memacu mobil SUV Putih itu meninggalkan pelataran George Square menuju rute yang diminta Fahri. Hujan masih turun rintik-rintik. Dalam perjalanan pulang kali ini, Fahri kembali ingin refreshing menikmati keindahan Kota Edinburgh. Fahri merasa ia berada di dalam museum hidup yang speerti tidak pernah membosankan. Yang ia rasakan suasana Edinburgh ini kurang satu hal, yaitu alunan suara adzan. Jika adzan mengalun di kota ini--seperti di Kairo yang bersahutan dari pucuk-pucuk bangunan klasik yang runcing itu saat salju turun atau hujan menyepa seperti ini --- maka inilah salah satu hamparan surga di atas muka bumi ini.

Fahri yang duduk di sampiang sopir benar-benar menikmati perjalanan sore itu.

Kota ini memiliki pesonanya sendiri. Kairo juga memiliki keindahan yang berbeda. Dan kampung kelahirannya di Indonesia juga memiliki sihir tiada duanya. Ah, dunia memang indah. Begitu memesona. Tiba-tiba ia seperti diingatkan oleh kesadarannya, wa lal-akhiratu khairun laka minal ula. Dan akhirat itu lebih baik bagimu dari dunia.

***
(bersambung...)
Nafilata Primadia
Load comments